Terjerat Garis Bantu
Ku hanya sebuah ilustrasi kecil biasa yang terbentuk dari goresan pensil. Ku hanya sebuah ilustrasi dari pensil mekanis yang merekat erat pada kertas bergaris. Ku terjerat dalam kertas bergaris, tak bisa lepas dan tetap disini hingga suatu hari nanti kertas tempat ku melekat hilang dan terhempas entahkarena terbakar atau mungkin saja basah. Basah oleh tumpahan secangkir kopi yang lupa di seruput pria bertopi atau tertinggal dalam lemari dan kemudian berubah warna kecoklatan bak jerami ditumbuhi jamur dan kemundian Ku lapuk termakan oleh waktu setelh berbulan bulan sebelumnya membusuk.
Ku hanya sebuah ilustrasi tanpa kehendak bebas. Ku diam tak bergerak tegas, tersenyum beku tak berdaya, bahkan tak berdaya untuk sekedar mengubah senyum beku ini menjadi senyum yang lebih hangat dan ceria.
Hei taukah dirimu,…
“Ku terjebak garis bantu di buku ini”
Ku terjebak dalam gari di buku ini sangat earat… sangat erat seakan seluruh urat terkengkang hingga melumpuhkan saraf motorikku hingga tak mampu menggerakkkan apapun dalam tubuhku. Sekedar berharap untuk kemudian bisa bebas pun aku tak bisa. Ku terjebak garis bantu, terikat begitu erat didalam serat kertas yang biasa kalian gunakan sebagai surat… Kertas tempatku terjerat ini kertas bergaris berwarna coklat kusam yang jika dilihat sekilas seolah dipenuhi oleh karat karena tak terawat.
Apakah aku ingin Terlepas dari jeratan kertas ini, Menghempas dari jeratan kemudian bergabung bersama kalian kedunia yang kalian sebut negeri 3 dimensi dan bebas? Continue reading
Hei… suara, bersiaplah dirimu,
ku tarik napas pas pada batas teratas
lihat ini,
dawai suar ku sudah gagah
perkasa bersiap bak pegas…
panas yang kan menghempas mu dengan keeeras
TERIAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK
ku hanya ingin
TERIAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK
sudah ini saja,
cukup,
bukan,
semua, tidak sebagian,
lenyap dalam senyap,
tapi, biarlah ku berteriak melalui kata yang tak terucap
melainkan
berteriak melalui kata yang tergores di dalam sebuah gambar,
yah, berteriak melalui gambar
lampung, 31 maret 2016
dewa
hai langit,
beberapa bulan lalu aku memandangmu didalam kampung kecil tergencit arus ‘Ibu’ yang sering disebut lebih kejam dari Ibu tiri
hai langit,
beberapa minggu lalu aku memandangmu dengan wajah lelahku, memandangmu di bawah sendu rintik hujan musim kemarau itu. dan berharap harapan sederhana.
hai langit, dalam satu bulan ini langkah kecilku melaju keberbagai arah untuk tetap memandangmu, tiga pulau kulihat dirimu tetap sama hai langit, tetap sama dan seperti itu hai langit.
hai langit, Continue reading