
Filosopi Upil —Bernilai atau tidaknya sesuatu tidak selalu tergantung dari keras atau tidaknya kita berusaha
“Hei aku ada hadiah untuk kakek, diterima yaa, ku mendapatkannya dengan susah payah lo.” Ujar seorang anak kecil tiba tiba membuyarkan ke kusyukan seorang kakek yang sedang membaca berita heboh tentang adanya potensi tsunami di suatu wilayah dengan tinggi mencapai 57.00001 meter.
Mendengar cucu kecilnya berkata demikian sang kakek pun menjulurkan tangannya tanpa mengalihkan pandangannya dari 57 baris ulasan tentang berita menarik tersebut. Dengan semangat, sang cucu memberikan hadiah spesialnya untuk sang kakek tepat diatas tangannya. Dalam sekejap benda munyil nan imut pun telah berada tepat di tangan sang kakek.
Sebesit kecurigaan tetiba timbul dalam benak sang kakek yang umurnya tertulis jelas dari warna rambutnya sudah lama meninggalkan kegelapan. Sesaat sang kakek melihat cucu kesayangannya itu dari ekormatanya dengan ekspresi penuh prasangka. Ia pun bertanya dengan perlahan “Apa ini cu?”
Dengan wajah sepolos anak kucing sang cucu menjawab dengan lambat, takut sang kakek murka.
“Upil adek kek,.. eheh..he”Mungkin cerita ini tidak ada hubungannya dengan beberapa peristiwa yang terjadi akhir akhir ini, atau mungkin saja ada #mungkinsaja.
Sebenarnya ada sesuatu keresahan yang ingin saya ceritakan saat ini, tentang sesuatu yang saya tidak tahu entah sengaja atau tidak disengaja dilupakan oleh beberapa orang saat ini (atau tidak menutup kemungkinan beberapa orang tersebut sudah mengingatnya dan berhati hati namun kemudian terbelokan oleh “framing tak beranggung jawab” dari pihak lain demi menimbulkan kehebohan hingga mendongkrak jumlah pengunjung suatu berita) atau mungkin alasan lain siapa yang tahu?.
Ini tentang Pentingnya Sikap Skeptisme yang harus dimiliki oleh seorang saintist.
Ku teringat salah satu nasihat Kepala Jurusan strata satu saya sebelum memberikan tanda tanagan tanda kelulusan. Sebanyak apapun data yang kamu miliki, secanggih apapun model yang kamu bangun nanti dan sepintar apapun dirimu dalam menganalisisnya, selalu sisakan satu keraguan akan hasil yang kau dapatkan. Kemungkinan salah selalu ada.
Ada satu paragraf bagus dari buku The Subtle Art of Not Giving A F*ck karya Mark Manson yang saya kutip berikut ini.
Ketika kita mempelajari sesuatu, kita tidak beranjak dari “salah” menuju “benar”. Namun, kita berangkat dari salah menuju salah yang lebih sedikit. Hal ini berlaku pula ketika kita menemukan hal baru lagi yang sebenarnya hanya mengajak kita ke arah kesalahan yang lebih sedikit lagi tanpa benar benar meraih kebenaran dan kesempurnaan itu sendiri.
Kita selalu salah, tidak ada yang benar, yang ada hanyalah kesalahan yang lebih sedikit. Kalimat barusan pun saya pastikan tidak benar, karena kita selalu salah. Meski selalu salah kita serta merta tidak dilarang untuk mengutarakan pendapat kita jika kita rasa kesalahan yang ada dapat ditoleransi dan tentunya memberikan kebaikan untuk kita, sukur sukur dapat memicu penemuan informasi baru untuk menuju kearah kesalahan yang jauh lebih kecil lagi.
Sebagai contoh pernyataan “Matahari terbit dari arah timur”, pernyataan itu mungkin bagi sebagian orang adalah suatu pernyataan yang selalu benar. Namun nyatanya tidak sebenar itu, lokasi terbitnya matahari tidak lah benar benar dari arah timur, tergantung dari lokasi lintang mana pengamatan dilakukan contohnya di daerah kutub dan juga tergantung dari kapan pengamatan dilakukan, pada bulan juni tentunya akan berbeda dengan pengatan bulan Marert maupun Desember. Apakah hal ini benar juga, tentu juga tidak benar secara mutlak, karena sumbu rotasi bumi pun berubah ubah sudutnya (menurut teori Milankovitch yang tentunya belum tentu benar).
Karena kita memang selalu salah, ijinkanlah saya mengatakan bahwa yang dikatakan dalam pemberitaan tentang adanya potensi terjadinya gempa 9 SR dari Sunda Megathurst, Potensi Tsunami hingga 57 m di Pandeglang, Fenomena langka hari tanpa bayangan adalah sesuatu yang salah?
mungkin akan muncul pertanyaan apakah dalam setidaknya 3 topik pemberitaan tersebut tidak ada sikap skeptisme?
Sebenarnya tidak juga, dengan pemberain kata “Potensi” dalam berita yang saya anggap heboh tersebut tersurat sebuah celah yang sengaja disediakan oleh informan utuk meletakan keraguan akan informasi yang mereka berikan tersebut. Sikap skeptisme tidak hanya diperlukan bagi seseorang yang bergelut di bidang riset untuk memperkaya informasi serta membawa kita kearah kesalahan yang sangat jauh lebih kecil dari pada yang pernah kita duga sebelumnya. Skeptisme juga perlu ada didalam diri kita sebagai penikmat informasi dari gawai cerdas kita yang iasanya ditemani dengan segelas kopi. Skeptisme tidak berarti sinis dan memandang negatif semua hal, bukan bukan itu. Skeptisme yang saya maksud disini hanyalah suatu sikap kritsi dan berhati hati dalam mengelola suatu informasi sambil tetap menyediakan celah keraguan akan kebenarannya.
“Kita perlu memberikan celah untuk keraguan, tidak perlu banyak, secukupnya saja agar ia tetap hidup dengan layak tanpa mengganggu pegerakan kita seenaknya.”
Dan ada satu hal lagi selain sikap skeptisme yang menjadi keresahan dan selalu bergelayut di benak saya. “Apakah dengan melepas informasi itu ke khalayak umum akan memberikan kebaiakan yang lebih banyak dibandingkan dengan kepanikan dan rasa was was yang ditimbulkan?”
Terkait hubungannya dengan filosopi upil. Ironisnya terkadang kita temui sebuah kesalahan dengan sengaja atau tidak sengaja ditutupi dengan dalih kerumitan dan tingkat kesulitan untuk mendapatkannya. Padahal Tidak selamanya yang rumit dan sulit didapatkan merupakan suatu yang benar benar bernilai.
Dari cerita sang kakek dan cucunya tersebut, kita bisa belajar bahwa Skeptisme saja tidak cukup untuk menghindari kita dari kesalahan. Kita juga perlu peduli dengan sekitar kita (jangan seperti tokoh si kakek yang saking fokusnya meski sedikit skeptsi dengan yang dibaca ia menyerahkan tanagannya begitu saja kepada cucunya yang Polos #mungkin
Bisa saja yang saya sampaikan itu juga salah. tak apa yang penting sudah berusaha.
Salam hangat dari saya yang telah lama tidak menulis blog ini.
Dewa Putu AM
Ini ada hubungannya sama filosofi relativitas di fisika modern. Ingat ga pertanyaan jaman dulu sekolah, ketika kita sebagai pengamat kereta api yang melintas, tentu kita bilang kereta api itu yang bergerak. Tetapi untuk mereka yang ada didalam kereta api, karena hanya duduk diam, yang dia rasakan adalah obyek di luar kereta lah yang bergerak (terlepas fakta dia didalam benda yang bergerak). Jadi semua itu bergantung oleh sudut pandang si pengamat. Pun pada kehidupan. Benar salah itu relatif karena masing-masing punya frame atau point of view yang berbeda. Bergantung dimana ia berdiri. Sedangkan tempat ia berdiri dipengaruhi lingkungan dsb.
Aaaah senang rasanya blogwalking lagi, saya kangen baca tulisan temen-temen 😀
Halo Kartika apakar hehehe
Eh ia juga ya, agaknya memang ada hubungannya sama filosofi yang diambil dari relativitas di fisika moderen. Huum setuju, benar atau salah itu relatif karena masing masing punya frame dan point of view yang beda.